Tidak semua mimpi bisa terwujud, itu adalah hal yang pasti terfikir dibenak semua orang ketika menghadapi kesulitan dalam pencapaian mimpinya. Begitu juga aku, aku adalah manusia biasa, seorang perempuan yang tercipta dari tulang rusuk laki-laki, seorang perempuan yang penuh keluhan, seorang perempuan yang harus terus berjuang diantara perang gender yang selalu menyudutkan perempuan. Dulu saat tinggiku masih 125 cm, aku hanya bisa menangis saat apa yang aku inginkan tidak tercapai lalu marah kenapa permintaanku tidak terpenuhi. Meskipun kini tidak banyak yang berubah, tapi menjadi dewasa adalah ketakutan terbesarku. Kini aku tidak bisa lagi sembarangan merengek demi sesuatu yang sangat aku inginkan sekalipun hal itu sangat menyakitkanku. Sewaktu aku meminta orang tuaku mengizinkan aku melakukan sesuatu yang aku inginkan dan ternyata mereka tidak memberikannya, aku sangat kecewa. Aku mengurung diriku didalam kamar lalu menangis sekeras mungkin supaya kesedihan itu pecah menjadi pecahan airmata dan tak ada lagi yang tersisa karena aku sudah mengeluarkannya dalam tangisan, tapi ternyata sekalipun aku menangis sampai terisak dan mataku bengkak kesedihan itu tetap saja tinggal dihatiku. Entah sudah berapa kali aku berbicara dan menunjukkan bahwa aku juga ingin diperlakukan sama dengan adik laki-lakiku tapi ternyata semua itu tidak ada gunanya. Mereka tetap menutup mata, seolah tidak pernah melihatku berusaha mereka tetap memerlakukanku seperti bayi, menuntunku, meyuapiku dan terus membisikan kata-kata bijak yang memuakkanku. Saat aku bertanya, kenapa aku tidak seberuntung adik laki-lakiku mereka menjawab karena aku seorang perempuan dan lagi-lagi mimpiki menjauhiku karena aku terlahir sebagai perempuan. Salahkah aku jika aku terlahir sebagai perempuan, apa seorang perempuan selamanya akan menjadi bayi yang segala sesuatunya dipilihkan baju, sepatu, tempat tidur, makan bahkan mainan kesukaan. Haruskah aku meyalahkan takdirku, saat aku sudah benar-benar muak, bayi ini melenggang pergi meninggalkan orang tuanya. Aku pergi dengan membawa gumpalan penyesalan dihati, tapi pertengkaranku dengan mereka hari itu membawaku pada mimpiku yang selama ini jauh dariku karena sangkar emas orang tuaku.
“Tita dengerin mama, mama gak mau kamu menyesal” teriaknya disuatu siang yang terik. Teriknya matahari siang itu membuatku semakin marah, karena aku pikir mama bisa mengerti kenapa aku ingin menjadi seorang penulis. Aku ingin mama tahu, dengan menulis aku bisa menceritakan banyak hal kepada semua orang, semuanya tanpa terkecuali. Tapi baginya aku harus menjadi seorang pembisnis supaya empat tahun kuliah di jurusan ekonomi tidak sia-sia. Sekalipun aku mencoba meyakinkan aku bisa gunakan kemampuanku dengan apa yang kuimpikan beriringan, tapi mama masih bersikeras.
“Tita udah menyesal jauh sebelum ini ma, Tita bukan boneka mama, Tita capek ma” teriakku balik sambil memasukkan baju-bajuku kedalam koper.
“oke, terserah. Mama Cuma ngingetin kamu sebagai orang tua” ucapnya keras kearahku, dan aku masih tdak menoleh kerah mama
“Tita gak akan melakukan hal yang Tita gak suka ma, gak lagi!” teriakku lagi
“terserah” kata mama dengan memalingkan wajahnya dariku
“ok” sahutku pelan dengan menenteng koper ditanganku, hari itu aku pergi dari rumah. Sekalipun aku merasa puas karena bisa pergi dari rumah setelah 21 tahun terpenjara dari hal yang mereka sebut kasih sayang tapi dihatiku aku meminta maaf pada Tuhan karena sudah melawan orang tuaku terlebih lagi mama, ini adalah permohonanku yang seratus kali yang kupanjatkan, berharap Tuhan bermurah hati dan membiarkan aku kali ini meskipun aku tahu aku berdosa melakukan hal ini. Tapi…aku katakan dalam hati sebagai pembelaan diri, jika aku tidak melakukan ini maka aku akan semakin kehilangan banyak hal mimpiku, harapanku dan kesempatan. Meskipun mereka semua –mimpi, harapan dan kesempatan, bisa menungguku tapi usiaku tidak lagi bisa menunggu. 21 tahun adalah usia yang masih sangat muda, aku paham itu tapi bagaimanapun kodratku sebagai seorang perempuan tidaklah sama. Hauft…aku menghela nafas panjang, apa-apain ini setelah sekian lama aku meneriakkan perbedaan gender didepan mama kini aku mengakui jika gender memang membatasiku.
©©©
Dua tahun berselang setelah kepergianku, entah apa kabar mama. Masihkah mama marah padaku, semakin membenciku atau sudah memaafkanku? Aku memejamkan mataku sejenak setelah mimpi buruk yang aku alami. Dalam mimpiku, mama datang membawa setumpuk buku karanganku dan memelukku dengan mengucapkan maaf yang selama dua tahun ini aku tunggu. Mentari pagi memaksa masuk menusup diantara celah horden yang menutupi jendela kaca dikamar apartemenku. Aku menghapus linangan air mata yang menuruni pipiku. “mama Tita minta maaf” ucapku pelan. Bunyi ketukan yang berasal dari pintu kamarku memaksaku bangkit dari tempat tidurku dan menyerek kakiku mendekati pintu lalu membukanya “ iya Ra” jawabku malas-malasan, meskipun dia belum memngucapkan sesuatu namun melihat bahasa tubuhnya sepertinya Tiara marah karena aku telat bangun. Aku menarik tubuhku dan menjatuhkannya di sofa kamarku dan membiarakan Tiara membuntutiku. “ko bisa-bisanya kamu santai-santai begini, sedang kamu tahu siang ini kamu ada peluncuran buku kamu yang terbaru” katanya dengan menyilangkan tangannya diatas dada. “iya aku tahu, ini masih jam 10, kamu tahu aku telat tidur tadi malem Ra” keluhku, “siapa suruh coba? Kita bisa beneran telat kalau kamu kaya empunya keong gitu! Lambat!. Belum mandi, sarapan dan bla bla bla” entah apa yang Tiara ucapin aku gak ngerti, bosen denger ocehannya aku masuk kamar mandi. Duduk diatas closet mungkin tempat yang tepat untuk mengumpulkan nyawaku atau lebih tepatnya menghindari ocehan sahabatku sekaligus editorku itu. Tiara termasuk salah satu yang ikut memakiku ketika aku memutuskan untuk pergi dari rumah namun sekalipun seperti itu, dia tetap menemaniku sampai ak sesukses sekarang. 10 menit berlalu, 20 menit berlalu lalu saat hampir menginjak menit yang ketiga puluh, suara gedoran pintu yang hampir merobohkan pintu kamar mandiku kembali mengusikku disusul teriakkan yang hampir setiap ada acara peluncuran buku selalu aku dengar. “Ta, kamu tidur lagi didalem” teriaknya. “gak Ra, aku hampir selese” jawabku sambil menyalakan Shower untuk mulai mandi. “ok, lima menit lagi aku tunggu sarapan, awas kalau telat”aku dengar suara Tiara mulai menjauh dan itu artinya Tiara sudah meninggalkan istanaku ini, hauft leganya….teriakku dalam hati dengan mengulum senyum kemenangan aku mulai membasahi tubuhku dengan air.
Setengah jam berlalu, aku sudah rapi dengan baju warna hitam kesukaanku dan jeans yang membalut tubuhku. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa aku berjalan menuju meja makan dengan senyum yang mungkin membuat Tiara ingin menelanku bulat-bulat, dia bahkan tidak membalas senyumanku dan mengacuhkanku beberapa saat. Setelah menatakan beberapa potong roti dipiringku, dia mulai dengan cerahmanya yang sangat sangat membosankan. Ceramah yang hampir setiap pagi harus aku dengarkan. Entah mungkin karena dia terlalu menyayangiku jadi setiap kali melihatku dia seperti ingin menghujaniku dengan nasehat, petuah atau apapun yang sebenarnya hanya berujung pada “kamu ini penulis terkenal tapi kelakuan kamu seperti anak kecil” dan bla….bla…bla, males bahasnya. Dengan senyum getir yang segetir getirnya aku mencoba mendengarkan petuah-petuahnya pagi ini. “ok Ra cukup, sepotong roti, segelas susu coklat yang hangat dan bertonton ceramah kamu itu udah bikin aku kenyang – kenyang banget”, ujarku dengan sedikit merajuk. “dasar, selalu berakhir seperti ini. Keluhan dan rajukan. Tapi pada akhirya aku juga kan yang ngalah sama kamu” tegas Tiara. “ya udah kita berangkat sekarang” ajakku, “hmmm” angguknya dan mengikuti dibelakangku.
©©©
Hari ini tidak lebih dari tiga puluh pertanyaan yang aku jawab dalam peluncuran buku baruku itu. bahagia? Itu pasti menjadi penulis seperti ini adalah bagian dari mimpiku dan aku sudah berkorban banyak demi mimpiku ini, tapi tiga puluh pertanyaan yang dilontarkan tadi sangat sangat sangat membosankan, pertanyaan yang sama selalu diulang setiap kali peluncuran bukuku. Inspirasinya dari mana mbak? Kenapa tokohnya seperti ini? Kenapa begini ? kenapa begitu? Argh……bosen ah, aku meronta dalam hati. Tapi siapa yang mendengar selain Tuhan dan sepertinya Tiara sudah mencium bau jenuh dariku. Dia memelototiku dan siap menelanku hidup-hidup dengan kedua bola matanya yang tajam itu. terpaksa harus senyum seramah mungkin dan tetap menjawab pertanyaan dengan nada serendah mungkin lalu berharap aku tidak mengacaukan acaraku sendiri. Otakku lagi-lagi tidak ingin diajak berkompromi dia tetap aja teriak-teriak aduh kapan selesainya acara ini, tolong dong semaleman aku belum tidur nih. Bosen tahu capek juga. Tapi toh sekuat apapun otakku berteriak tetap tidak ada yang mendengar kecuali Tuhan. Oh inspirasinya saya dapat ketika saya dan sahabat saya sedang berjalan-jalan, lalu melihat sepasang anak muda yang bercanda tawa dan berusaha menyembunyikan perasaan masing masing, ya kira-kira seperti itu mas, kalau masalah tokohnya yang saya buat seperti itu karena tokoh laki-laki imajinasi saya memang sedikit bodoh dalam berkomunikasi jadi saya buat tokoh perempuan imajinasi saya lebih cerewet dan jujur , aku mulai menjawab pertanyaan mereka satu persatu 1 jam berlalu dan akhirnya acara ini selesai juga. Menjadi penulis memang impianku tapi acara seperti ini bukan bagian dari mimpiku. Tapi mau tidak mau aku harus menjalani ini, mereka membantuku banyak hal dan sudah seharusnya aku membantu mereka. Memang dari sisi pekerjaan itu sangat membosankan tapi dari sisi kemanusian kita harus saling membantu.
©©©
Aku lahap menyantap makan siangku, kerena tadi pagi aku hanya melahap sepotong roti yag Tiara siapkan untukku. Didepanku Tiara sibuk membolak-balik buku sakunya, memastikan jadwal yang harus aku jalani. Setengah kesal melihatnya mengacuhkan mekanan seenak ini, aku berusaha tidak memperdulikannya. “Ta, habis makan siang ini kamu harus mengunjungi salah satu toko buku dideket sini” katanya tiba-tiba. Aku terbatuk mendegarkan kalimatnya. Aku sedikit melototkan mataku kearahnya, “kamu gak kenapa-napa kan Ta?” Tanyanya sok polos, “sial, kalimat kamu yang baru san itu yang bikin aku kenapa-napa!” teriakku kerahanya. “kalimat yang mana?” timpalnya “udah luapain aja! Kataku kesal. Oh ia lain kali kalau aku lagi makan bisa gak gak usaha bahas pekerjaan!” teriakku lagi, “oh itu” katanya setelah menyadari ucapanku “tapi aku kan Cuma ngingatin” katanya mengiba. “toko buku yang mana?” tanyaku sambil berdiri meninggalkan makanan ku. “itu yang sebelah sana” jawabnya sambil menunjuk ke suatu tempat. “ok” sahutku sambil menujuk kearah telunjuk Tiara. “Ta, tunggu aku belum selese makan” katanya keras-keras tapi aku tidak menghiraukannya.
Aku duduk dikursi dibalik meja yang sudah di siapkan oleh pemilik toko buku ini, aku tidak kenal baik dengan pemilik toko buku ini tapi aku lumayan dekat dengan anak pemiliki toko buku ini jadi mau tidak mau aku diperlakukan sedikit special disini. Hahahahha keuntungan mempunyai banyak koneksi. “gimana Ta, kursinya nyamankan? Memang gak sebagus kaya punyamu dirumah tapi kelihatanya lumayan nyaman untuk sesi tanda tangan yang melehkan itu kan?” aku mendongakkan kepalaku dan mencari arah suara itu. Qimi. “oh…kapan dateng Qim?” tanyaku balik. “ waduh saking sibuknya jadi gak sadar aku dateng ia?” keluhnya. Qimi anak pemilik toko buku ini, dia selalu menyempatkan diri dateng setiap kali aku ada acara tanda tangan di toko buku ayahnya. “maaf” gumamku sambil membubuhkan tanda tangan diatas buku yang penggemarku beli “terimaksih” ucapku padanya dengan menjabat tangannya dengan seulas senyum yang dia berikan sebagai balasannya membuatku sangat bahagia. “ senyumnya manis ya?” kata Qimi dengan terus memandangi penggemarku yang baru saja ku berikan tanda tangan. “hmmm, dia juga cantik” sahutku. “yaudah deh, kayaknya kamu sibuk banget, nanti aku telfon ya. Aku msih ada urusan” pamit Qimi dengan melambaiakan tangannya. “ok” sahutku singkat. Lima, sepuluh, lima belas, dua puluh orang sudah mendapat tanda tangan dibuku yang mereka beli. Sampai seseorang membawa setumpuk buku karanganku. Masih dengan menundukkan kepalaku “wah…sepertinya anda penggemar berat saya” kataku setengah bercanda, tapi tidak ada jawaban darinya. Aku mengambil tumpukan buku itu dan baru akan memulai menandatanganinya, “maaf nama anda?” tanyaku dan masih belum ada jawaban, aku mengulangi pertanyaanku kali ini dengan mendongakkan wajahku supaya bisa melihat siapa penggemar beratku yang membawa setumpuk buku karanganku itu. setelah aku temukan wajahnya, aku baru menyadari orang itu adalah mama, wajahnya sedikit sayu dengan kerutan diwajahnya yang Nampak semakin jelas. Aku menatapnya lama tanpa kata tanpa Tanya. Sampai Tiara datang dan mencairkan suasana, “tante, tante maksih udah dateng” sambut Tiara dengan memeluk tubuh mama, hal yang sangat ingin aku lakukan selama dua tahun ini tapi aku terbentur harga diri dan egoku jadi aku hanya mematung dikursi dimana aku duduk sejak tadi.
©©©
Setelah beberapa saat mematung dan membisu aku mengejak mama ke restoran terdekat. Suasana masih belum juga cair. Kami hanya saling menatap tanpa berbicara sepatah katapun. Pelayan membawa pesanan kami, ice cream strowberi, mama memesankan aku itu. setengah terharu karena sepertinya mama menyadari aku sedang kesal jadi mama memesankanku semangkuk ice cream, kebiasaan yang sering aku lakukan sejak dulu dan mama sama sekali tidak melupakannnya. “makanlah ice creamnya nanti keburu cair” kata mama akhirnya, “hmmm” aku mengangguk dan segera menyambar ice cream didepanku. Aku melirik kearahnya dan menatapnya lekat lekat. “ice creamnya enak” kataku. “mama baik-baik aja?” aku mencoba membuka pembicaraan. “seperti yang kamu lihat” jawab mama singkat. “kalau mama masih marah aku bisa ngerti, dan aku minta maaf” ucapku. “sejak kapan kamu gak menyebut nama kamu sendiri setiap kali ngomong sama orang?” Tanya mama kaget. Selama ini aku selalu menyebutkan namaku setiap kali berbicara, “sejak Tiara tinggal sama aku” jawabku kaku. “Tiara ngajarin kamu banyak hal ya?” Tanya mama lagi “ia, banyak hal” sahutku dengan meneruskan makan ice cream didepanku. “mama memang gak bisa ngajari kamu banyak hal” kata mama sambil meminum teh dari cangkirnya. “mama minta maaf” timpalnya. “ bukan salah mama, kataku dengan meletakkan mangkuk ice cream yang sudah kosong, mama bukan gak bisa ngajari aku banyak hal, mama hanya terlalau sayang sama aku. Itu yang dikatakan Tiara saat aku marah sama mama. Dan gak seharusnya aku ninggalin rumah. Aku minta maaf ma” kataku panjang lebar.”waktu itu seharusnya mama ngizinin kamu menjadi penulis dan menjadi apa yang kamu mau, bukan malah mencegah kamu. Mama memang bukan ibu yang baik untuk kamu” ucap mama dengan menghapus air mata yang menuruni pipinya. “mama ini ngomong apa! Aku terlahir dan tumbuh sebesar ini kalau bukan karena mama yang menginginkannya mana mungkin aku bisa hidup di dunia ini. Mama gak perlu menyalahkan diri sendiri. Seharusnya aku mengucapkan ini sejak dulu tapi aku minta maaf baru bisa mengucapkannya sekarang. Mama, makasih udah mengizinkan aku lahir didunia ini dan memberiku kehidupan yang baik.” Sahutku dan air mata yang menuruni pipi mama semakin deras. “mama, udah berjasa banyak buat aku. Aku juga minta maaf karena menentang mama. Aku hanya bisa membuat mama sedih dan gak pernah sekalipun bahagiain mama. Bahkan sampai sekarang” aku menimpali ucapanku. “ kamu memang udah makin dewasa Ta, mama maafin kamu. Apa ini juga karena Tiara?” Tanya mama
“hmm sedikit” jawabku singkat. Mama memutari meja diantara kami dan memelukku dan mencium pipiku. “mama, udah lepasin” katakau “lihat orang-orang melihat kearah kita” lanjutku.”oh.. maaf mama lupa. Sekarang kamu kan orang terkenal” kata mama sedikit meledek dan kembali kekursinya. “memang, aku sekarang sangat terkenal” aku menyombongkan diri lalu kami tertawa bersama. Sejak saat itu, hubunganku dan mama kembali membaik. Sekalipun sudah membaik tapi aku tetap memutuskan tinggal terpisah dengan mama dan memilih tinggal bersama Tiara dan kali ini mama tidak banyak menentang.
Ini adalah mimpiku yang menjadi nyata, pagi ini aku memimpikan mama datang dan memelukku dan sore ini mimpiku baru saja menjadi nyata.